Senin, 05 November 2018

CERPEN

Barokah
Reza Akbar Maulana

Biarlah ucapan mereka semua, mungkin mereka belum mengetahui apa itu namanya mondok.
***
Sedari kecil aku sudah dididik bapak untuk tidak manja. Mulai dari makan, berangkat sekolah, cuci pakaian dan lain-lain. Alasan bapak adalah, “Dia itu laki-laki, kalau dimanja mau makan apa anak istrinya nanti. Lagian dia kan habis ini mau dikirim ke pesantren.” Jawab bapak saat ditanya ibu.
Benar, setelah lulus sekolah dasar aku langsung dipondokkan. Tak hanya aku, semua sepupuku juga dipondokkan. Kata bapak ini adalah wasiat kakek. Kalau ada cucunya yang berjenis kelamin laki-laki maka wajib dipondokkan.
“Mereka itu orang tuamu.” Kalimat itu yang terucap dari mulut bapak sebelum meninggalkanku di pesantren.
Tiga bulan berlalu, liburan telah tiba. Aku pun pulang ke rumah naik bus sebab rumahku hanya  terpaut tiga kabupaten dari pondok. Sesampai di rumah, kupeluk ibu untuk melampiaskan rasa rindu.
”Kenapa kamu pulang? Justru saat liburan begini adalah kesempatan kamu berbakti pada orang tuamu.” Tiba-tiba suara bapak menyeruak. Tanpa tunggu esok  langsung aku kembali ke pondok, dalam kepalaku tiba-tiba saja muncul kejanggalan.
“Cermatilah orang tuamu.” Aku masih bertanya-tanya dengan pesan bapak. Apa mungkin… Ah, tidak, ah. Jawabku sendiri di perjalanan. Apa mungkin Pak Kiai memang bapakku? Atau mungkin bapak sudah tidak sudi memanggilku anak? Entahlah. Yang pasti sejak peristiwa itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan bapak sampai aku melihatnya terbujur kaku berbalut kain kafan berbaring di keranda mayat.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun dan benar saja semakin lama aku di pondok tanpa pulang aku semakin dekat dengan orang tua baruku. Ya, benar. Orang tua baruku. Perawat rohaniku. Lewat bantuan Cak khuluq, seorang abdi ndalem, aku sering masuk dapur pondok di belakang ndalem. Walaupun di situ aku hanya sekedar mencuci piring tak masalah yang penting aku dapat memulai khidmatku.
 Selama itu aku masih belum pernah melihat Pak Kiai. Tapi syukurlah aku setiap hari bisa mencium tangan Bu Nyai. Lama-kelamaan aku pun lebih sering di dapur pondok daripada di kamar pesantren. Akibatnya banyak teman sekamar menggunjingku.
“Lihat si Farid! Kalau mau tidur saja masuk kamar!” salah satu temanku nyerocos sambil menatap sinis.
Biarlah ucapan mereka semua. Mungkin mereka belum mengetahui apa itu namanya mondok. Ujarku dalam hati sambil nyelonong saja ke kamar. Tak menggubris ucapan mereka.
Kata Ibu memang tradisi keluarga bapak, ”Begini. Dulu  saat kakekmu, Mbah Darman mondok di Kediri beliau juga abdi ndalem. Tepatnya bagian penggarap sawah. Berlanjut pada Bapakmu saat mondok di Kiai Idris dulu, bapakmu juga jadi abdi ndalem.” Kata ibu suatu hari saat kami duduk berdua di teras rumah. Lanjut ibu, “Malahan almarhum bapakmu itu nggak pernah berkumpul sama orang kecuali sama Kiai Idris. mungkin karena itu kamu tidak boleh pulang. Bapakmu pasti ingin kamu mengikuti jejaknya menjadi santri sesungguhnya karena santri sejati adalah santri yang meniru tindak-tanduk kiainya. lha bagaimana bisa meniru tindak-tanduk kiai kalau ketemu aja ndak pernah.” Jelas ibu panjang lebar.
Tak hanya itu saja Ternyata semua saudara-saudaraku juga jadi abdi dalem mulai dari Mas Asif, anak Pakde Nasim yang jadi asisten pribadi Kiai Murtadho Madura. Lalu Dik Wildan, anak bulek Saidah yang jadi baby brother alias pengasuh Gus Akil Putra Kiai Murtado Kartosuryo, dan yang terakhir di Mila, anak Pak Lik Udin. Dia jadi juru laden dan juru masak keluarga Kiai Sanusi Jombang. Bahkan dia, kata ibuku, sudah dipinang putra bungsu Kiai Shobrun, Gus Jakfar.
 Kini giliranku  Farid Abdurrahman, anak semata wayang Bapak Musthofa dan Ibu Khoiriyah. Lihat, Pak. Aku tidak akan mengecewakanmu.
 tapi kenyataan jadi abdi dalam tak semudah yang dibayangkan. Sejak aku disuruh oleh ibu nyai untuk menggantikan Cak Khuluq yang telah kembali ke rumahnya karena sudah menikah, aku harus pandai-pandai mengatur waktu mana yang harus didahulukan antara pekerjaan-pekerjaan di dapur pondok atau kegiatan-kegiatan di bilik pesantren. Selain itu aku juga harus kuat mendengar kicauan teman-teman. Pada awalnya aku sangat kesulitan pagi buta aku harus menanak nasi untuk ndalem dan semua santri. Sehabis sholat subuh aku harus pergi ke pasar belanja sayuran, ikan, tahu, tempe, kecap, bawang, dan bumbu-bumbu  dapur lainnya.
 Tak hanya itu sepulang sekolah setelah sholat dhuhur aku juga harus menjemput Gus Roni cucu Pak kiai dan menemaninya belajar. Jika ada tamu di malam hari aku juga harus menyiapkan semua jamuannya. Namun, lama-kelamaan semua lelah itu sirna karena aku menjalaninya dengan dasar cinta. Benar-benar cinta pada Pak kiai. Cinta pada diriku juga cinta pada ilmu dan amalku.
 Manusia adalah hamba dari yang dicintainya. Begitulah kata Pak kiai saat ngaji kitab Nashaihul Ibad. Tapi bukan itu masalahnya. masalah utamanya adalah mereka yang membawa kayu bakar.
“Dari mana kamu?” Tanya salah satu teman.
Belum aku menjawab, yang lain menimpali, “Ya dari dapur, lah Bos. Mau dari mana lagi,  kurang apa coba di sana kan banyak makanan. Banyak cewek pula.” sahut yang lain.
“Oh pantesan kalau berangkat sekolah terlambat orang di sana berduaan dengan si Jamilah.” tanganku semakin gatal.
“Rid, apa kamu nggak malu udah sering nggak masuk kalau masuk juga terlambat masuk masuk juga paling tidur dikelas hahaha.” Sahut yang lain. Kata mereka yang hanya kudengarkan. Tanganku semakin mengepal wajahku merah.
“Astaghfirullahaladzim,” kuredam marahku dengan istighfar, “biarlah ucapan mereka semua. Mungkin mereka masih belum mengetahui apa itu namanya mondok.” kuulangi lagi ucapanku.
 Satu tahun kemudian aku naik pangkat. Kini aku menjadi sopir pribadi Pak kiai.
“Walaupun hanya sopir kedua, alias hanya jika ada acara di dekat pondok jangan sia-siakan, Rid. Itu kesempatanmu agar lebih dikenal Pak kiai.” kata Cak khuluq setelah mendengar berita kalau aku naik pangkat, resikonya aku lebih sering lagi tidak ikut KBM sekolah.
 Tak apalah yang penting aku bisa dapat barokah Pak kiai jawabku dalam hati. Hingga pada akhir tahun saat kelas XII SMA tepatnya saat UN terjadi tragedy. Pada saat itu kompak 1 kelas membawa handphone. Pasalnya salah satu temanku mendapat bocoran kunci jawaban. Langkah awal untuk mengelabui pengawas ujian sukses, teman-temanku sangat bervariasi dalam menyembunyikan ponsel canggihnya. Aku lebih memilih menaruh HP-ku di kasut kaki kiriku, maklum waktu itu bila dibandingkan dengan teman-teman lainnya HP-ku paling kecil juga paling jadul.
Kata Pak kiai hati itu ibarat pisau. Semakin tajam semakin membahayakan jika dipegang orang yang belum bisa menggunakannya. Secara bijak begitu pula dengan HP semakin canggih benda itu semakin mudah pula benda itu untuk melukai diri sendiri atau orang lain. Mahfud kakakku menyebutnya Dajjal sugiya, karena HP masjid-masjid, musala-musala, dan tempat peribadatan lainnya jadi sepi.
Ekstrem bukan untuk hari pertama rencana berjalan lancar begitu pula di hari kedua dan ketiga. Tapi naas menimpaku di hari keempat. Tragedi yang kumaksud itu terjadi dari waktu 120 menit yang disediakan, aku hanya mengerjakan 11 soal. Ceritanya begini. Saat ujian hari keempat ujian matematika. Seperti biasanya matematika memang musuh bebuyutan anak sekolah terutama anak laki-laki sepertiku yang juga sering tidak masuk. Tanpa pikir panjang Karena membawa HP yang nantinya akan dikirimi kunci jawaban aku pun tidur. Lama berlalu tiba-tiba aku dilempar penghapus teman di samping meja. Si Sesil, anak berwajah oval keturunan Arab Cina.
 He he….Bangun-bangun udah Tinggal 15 menit lo apa kamu nggak ngerjain. Ucapannya dengan berbisik. Takut kelihatan guru pengawas, langsung saja kuambil hati-hati HP di kasutku. Setelah memencet tombol ini dan itu akhirnya aku bisa sampai di menu pesan kulihat ternyata SMS-nya belum masuk.
 Mungkin 5 menit lagi kataku sambil memasukkan ke saku celana. 10 menit berjalan ternyata masih saja belum ada tanda SMS masuk. kugoyang-goyang kan HP jadul itu. Waduh gawat. Kuselipkan lagi HP-ku itu ke dalam kasut.
Masalahnya mungkin HP-ku nggak ada sinyal karena perangkatnya terlalu kuno.   Waktuku hanya tinggal 5 menit.  Teman-temanku sudah siap mengumpulkan lembar jawaban. Secepat kilat kuisi lembaran jawaban tanpa melihat soal.
“Anak-anak, waktu mengerjakan sudah habis. Kumpulkan lembar jawaban kalian.” ucap guru pengawas yang tertera Nama Endang Saraswati di dalam kartu pengenalnya.
Tamatlah riwayatku. Dari 40 soal hanya kuisi 11 butir. Hebatnya lagi semua itu hasil ngawur. Sudah dipastikan 99 koma 999% aku tidak lulus. Aku mengutuk diriku sendiri. Padahal syarat kelulusan adalah masing-masing pelajaran minimal mendapat nilai 6,5. Sedangkan lihat diriku. Jika saja di tiga pelajaran lain aku mendapat nilai sempurna tapi semua itu nggak ada gunanya jika di satu pelajaran ini aku hanya mengerjakan 11 soal dan itu pun hasilnya belum tentu benar semua bisa bisa kemungkinan salah semua.
Tak menunggu lama, setelah ujian langsung kuhubungi ibuku, “Assalamualaikum. Bu ini Farid.”
“Waalaikumsalam.”
“Bu aku minta maaf.”
“Kenapa?”
“Bu, aku minta maaf.”
“Memangnya ada apa?” suara ibu terdengar bingung.
“Bu, aku minta maaf. Kalimatku kuulang sampai tiga kali. Aku merasa sangat bersalah. Aku bakal nggak lulus, Bu.” jawabku dengan suara parau.
“ Ah kamu ini jangan bergurau dong.” suara ibuku terdengar agak kuatir.
“Beneran, Bu. Aku nggak bercanda ceritanya begini...” jawabku sambil menceritakan kejadian tadi.
“Lha terus bagaimana?”
“Ke depannya aku ujian paket C.”
“Ya sudah ya… tutututtttt.” Terputus. Pulsaku habis.
 Keesokan harinya aku mendapat tugas untuk mengantar Pak kiai. Ini kesempatanku untuk jujur dan mengakui kesalahan. Saat perjalanan pulang sehabis pengajian di kantor kecamatan aku mengadu pada Pak kiai tanpa tedeng aling-aling. Kuceritakan semuanya mulai aku tidur sampai aku minta maaf pada ibu. Memang sudah jadi kebiasaanku sebagai seorang santri aku selalu mengadukan semua masalahku. Mulai masalah di pondok, masalah di rumah, dan masalahku dengan teman-teman.
“ kamu mau lulus?”
 “Nggih, Pak kiai .”
“Tapi jangan pernah ceritakan bacaan ini pada siapa pun.”
 “Nggih, Pak kiai.” sambil membanting setir ke arah kanan.
“Kalau begitu baca ini 40 kali sehabis sholat malam selama 40 hari berturut-turut.” pesan beliau sambil memberikan secarik kertas bertuliskan doa-doa.
“Wonten malih nopo syaratnya, Pak kiai?” tanyaku.
“ Ya dengan keadaan berwudhu dan ingat tidak ada zat yang berhak diminta pertolongan selain Allah Tuhan semesta alam.” Jawab beliau dengan nada penuh wibawa.
  Ini tidaklah berat. Hanya 40 hari. Kataku dalam hati untuk menyemangati. Meski banyak temanku yang mencibir.
“Selamat ya lulus dengan nilai bagus.” Kata seorang teman sambil terkekeh.
“Kamu nggak papa? Soal 40 kok cuma dikerjain 11?”
Masih banyak lagi cemoohan lainnya. Tapi yang paling menyulut emosiku adalah kata si Rudi, “Udah sana kamu udah ditunggu Toyotanya Pak kiai tuh!” Sabar. Sabar. Ini cobaan.
 40 hari telah aku lakukan amalan dan besok sudah pengumuman kelulusan. Hatiku tidak menentu. semua telah memvonisku kalau aku tidak akan lulus.
 Faisal Rahman
Fani Wulandari
dan kini giliranku, kuserahkan semuanya padamu ya Allah. Hati berdoa pasrah. Farid Abdurrahman. Namaku dipanggil. Aku maju. Aku tak kuasa membuka surat kelulusan. Aku bawa ke dapur pondok di perjalanan semua memandangiku.
Subhanallah. Aku takjub. Apa benar ini milikku tanyaku tak percaya memang benar ini milikku. Tertulis Walid Abdurrahman, kelas 12 IPS. Aku menyesal masih tak percaya aku bawanya ke kantor dengan sopan.
 “Iya benar ini milikmu tapi bukannya….” kata Pak Anang guru TU juga heran.
 Ini adalah keajaiban. Aku percaya inilah yang dinamakan barokah. Entah apa yang terjadi. Mungkin komputer pemeriksanya rusak atau apalah. Yang pasti aku lulus. aku yakin ini karena barokah. Hebatnya lagi 11 temanku yang mencelaku semuanya tidak lulus.
Sampai sekarang ceritaku itu menjadi sejarah di sekolah dan pondok.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar